dextromethorphan HBr

DEXITAB
Dexitab atau obat sejenis dextromethorphan yang berbentuk tablet dan setiap tablet komposisinya mengandung dextromethorphan HBr (HydroBromidum) 15-60 mg.

FARMAKOLOGI
Dexitab merupakan salah satu obat pereda batuk pada gangguan otak (SSP). Tidak seperti obat batuk lainnya, dexitab sering kali disalah gunakan oleh konsumen sebagai pecandu drugs. Konsumen tidak mengetahui dosis pemakaian untuk obat
Indikasi:
Meringankan batuk karena flu, alergi dan hidung tersumbat. ini, karena kebanyakan dari konsumen hanya memakai untuk keperluan yang lain.
Kontraindikasi:
Dosis:
Dextrofen Kapsul Dewasa: 3 x sehari 1–2 kapsul sesudah makan Anak-anak: Menurut petunjuk dokter Dextrofen Sirop Dewasa: 3–4 x sehari 2 sendok the Anak-anak 6–12 tahun: 3–4 x sehari 1 sendok teh Anak-anak 2–6 tahun: 3–4 x sehari 1/2 sendok teh Anak di bawah 2 tahun: Menurut petunjuk dokter.
Kemasan:
Dextrofen Kapsul Botol isi 60 kapsul Dextrofen Sirop Botol isi 60 ml
Perhatian
Tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan penyakit tiroid.
Keterangan
Perhatian untuk penderita tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan hipertiroidismus.
Penggolongan lain dari obat antitusiva dapat dilakukan menurut titik-kerjanya, yaitu dalam otak SSP (Susunan Saraf Pusat) atau di luar SSP, yakni zat-zat sentral dan zat-zat perifer.
1. Zat-zat sentral. Kebanyakan atitusiva bekerja sentral dengan menekan pusat-batuk di sumsum-lanjutan dan mungkian juga bekerja terhadap pusat-saraf lebih tinggi ( di otak ) dengan efek menenangkan. Dengan demikan zat-zat ini menekan ambang bagi impuls batuk. Dapat dibedakan antara zat-zat yang menimbulkan adiksi (ketagihan) dan zat-zat bersifat non-adiktif.
a. Zat adiktif. Candu (Pulvis Opii, Pulvis Doveri), kodein. Zat-zat ini termasuk dalam kelompok obat yang disebut ”opioid”, yakni obat-obat yang memiliki (sebagian) sifat farmakologi dari candu (opium) atau morfin.
b. Zat non-adiktif. Noskapin, dekstrometorfan, pentoksiverin. Antihistaminika dianggap termasuk juga dalam kelompok ini, misalnya prometazin dan difenhidramin. Obat-obat ini tidak termasuk dalam Daftar Narkotika, bahkan diperjualkan bebas tanpa resep.
2. Zat-zat perifer. Obat-obat ini bekerja diluar SSP (di periferi) dan dapat dibagi pula dalam beberapa kelompok yang sudah di uraikan di atas, yakni emolliensia, ekspektoransia, mukolitika, anestetika lokal, dan zat-zat pereda.

ZAT-ZAT TERSENDIRI
1. Kodein. Kandungannya metilmorfin
Alkaloid candu ini memilki sifat seperti morfin, tetapi efek analgetis dan meredakan batuknya jauh lebih lemah, begitu pula efek depresinya terhadap pernapasan. Obat ini banyak digunakan sebagai pereda batuk dan penghilang rasa sakit, biasanya dikombinasi dengan asetosal/antibiotic yang sering juga disebut asam asetilsalisilat yang memberikan efek potensiasi.
Efek sampingnya jarang terjadi pada dosis biasa dan terbatas pada obstipasi, mual dan muntah, pusing dan termangu-mangu(mabuk). Walaupun kurang hebat dan lebih jarang pada morfin, obat ini pula dapat membuat ketagihan.
2. Dekstrometorfan. Kandungannya methoxylevorphanol
Derivate-fenentren non-narkotik sintesis ini berkhasiat menekan rangsangan batuk, yang sama kuatnya dengan kodein, tetapi bertahan lebih lama. Tidak berkhasiat analgetis, sedatif, sembalit atau adiktif, maka tidak termasuk Daftar Narkotika. Mekanisme kerjanya berdasarkan peningkatan ambang pusat batuk di otak. Pada penyalah gunaan dengan dosis tinggi dapat terjadi efek stimulasi SSP dengan menimbulkan semacam euforia, maka kadang kala digunakan oleh pecandu drugs.
Efek sampingya hanya ringan dan terbatas pada rasa mengantuk, temangu-mangu, pusing, nyeri kepala, dan gangguan lambung-usus.

ANTI HISTAMIN

Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak penemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin penghambat reseptor H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3). Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Dengan demikian dermatologist harus teliti dalam pemakaian antihistamin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik.
Di dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu persenyawaan amino, yang merupakan hasil biasa dari pertukaran zat. Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekrboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan asma (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selapit lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.
Sifat-sifat dan mekanisme kerja antihistaminika
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.
Penggunaan
Pada pengobatan dari berbagai gangguan alergi dan anafilaksi, antihistaminika dapat menghilangkan sebagian besar dari gejala-gejala tanpa melenyapkan sebab-sebab utamanya. Meskipun kerjanya tidak begitu lengkap dan cepat seperti adrenalin atau aminofilin, namun obat-obat antihistaminik kini banyak digunakan untuk mengobati keadaan-keadaan alergi. Misalnya pada keadaan gatal-gatal (“kaligata”), urticaria karena makanan (udang) atau obat-obat tertentu (asetosal, penisilin), dan penyakit serum (“serum sickness”) setelah suntikan dengan suatu serum asing. Juga untuk mencegah atau mengurangi reaksi-reaksi alergi, seringkali diberikan antihistaminika satu jam sebelum dilakukan penyuntikan dengan suatu antigen spesifik (misalnya serum, penisilin). Untuk mengobati penyakit asma (bronchiale), antihistaminika tidak begitu berkhasiat, karena hanya dapat meringankan saja gejala-gejalanya. Penggunaan lainnya adalah sebagai obat anti emetik yang dapat melawan rasa mual dan muntah-muntah pada mabuk perjalanan (“motion sickness”) dan selama hamil (“morning-sickness”, hyperemesis gravidarum). Untuk maksud ini biasanya digunakan garam klorotheofilinatnya, misalnya difenhidramin dan promethazin klorotheofilinat, yang lebih berkhasiat daripada persenyawaan-persenyawaan induknya.
Disamping peranannya dalam persaingan substrat dengan histamin, antihistaminika juga memiliki khasiat antikolinergik lemah dan kegiatan vasokonstriksi. Berdasarkan hal ini antihistaminika seringkali digunakan untuk meringankan gejala “common cold” misalnya selesma, dengan atau tanpa dikombinasi dengan analgetika. Begitupula banyak sirop batuk mengandung obat-obat ini, guna mengurangi rasa gatal di tenggorokan. Antihistaminika juga berkhasiat terhadap vertigo (pusing-pusing) dengan jalan menekan kegiatan reseptor-reseptor saraf vestibuler di bagian dalam telinga dan merintangi kegiatan kolinergik sentral. Dalam hal ini antihistaminika yang sering digunakan adalah sinarizin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin dan promethazin.
Antihistaminika dapat diberikan secara oral atau parenteral dengan resorpsi yang baik. Pada pemberian oral, efek mulai tampak setelah 15 – 30 menit, sedangkan pada umumnya lama kerjanya hanya lebih kurang 4 jam, terkecuali promethazin, meklizin dan buklizin, yang memiliki kerja panjang (lebih kurang 16 jam). Khasiat dan terutama dosisnya, juga toleransi untuk obat-obat ini adalah sangat individual; suatu antihistaminika yang manjur untuk mengobati A dengan dosis kecil, mungkin sama sekali tidak ada efeknya untuk mengobati penyakit yang sama pada B.
Efek – sampingan
Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat, maka efek sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkannya. Sifat sedatif ini adalah paling kuat pada difenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan pada pirilamin dan klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya pada fenindamin. Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai amfetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya dihindarkan. Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan efek daripada khasiat parasimpatolitiknya yang lemah, yaitu perasaan kering di mulut dan tenggorokan, gangguan-gangguan pada saluran lambung usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian antihistaminika pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.
Perintang-perintang reseptor-reseptor – H2
Antihistaminika yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus serta dilatasi pembuluh-pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana efeknya berlangsung melalui jenis reseptor tertentu yang terdapat dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ bersangkutan yang disebut reseptor-resep[tor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari produksi asam lambung berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu reseptor-reseptor H2 yang terdapat dalam mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya imetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi darah (agranulocytosis).

Penggolongan

Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
A. Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.
B. Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
C. Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin. Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
D. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.
1. Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mg
· Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros). Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100 mg, i.m. 50 mg.
· Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.
2. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.
3. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg
4. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg
5. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan. Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.
6. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui. Selain itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan vasodilator-vasodilator lainnya.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg
* primatour (ACF) adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat, yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama. Dosis : dewasa 1 tablet.
7. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya
8. Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat antikolinergik yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang berlebihan.
9. Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal.
Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering. Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.
10. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak memiliki sifat-sifat menidurkan. Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya
Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.


Tabel 1. Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)
Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama
1.
Azatadine
2.
Azelastine
3.
Brompheniramine
4.
Chlorpheniramine
5.
Clemastine
6.
Cyproheptadine
7.
Dexchlorpheniramine
8.
Hydroxyzine
9.
Promethazine
10.
Tripelennamine
Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua
11.
Cetirizine
12.
Loratadine
Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga
13.
Fexofenadine
14.
Desloratadine
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.4

ANTIBIOTIK

Antibiotik (L. Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa dengan khasiat antibakteri.
Mekanisme kerja yang terpenting adalah perintangan sintesis protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi, misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin. Selain itu beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosporin) atau membran sel (polimiksin, zat-zat polien dan imidazol). Kemoterapi antimikroba dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya dalam zat-zat bakterisid dan bakteriostatis sebagai berikut :
a. Zat-zat bakterisid (L. Caedere = mematikan), yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Obat-obatan ini dapat dibagi pula dalam dua kelompok yakni : yang bekerja :
· Terhadap fase tumbuh misalnya penisilin dan sefalosporin, polipeptida (polimiksin, basitrasin) rifampisin, asam nalidiksat dan kuinolon-kuinolon. Zat-zat ini kurang efektif dalam fase istirahat.
· Terhadap fase istirahat misalnya aminoglikosida, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol dan juga polipeptida tersebut di atas.
b. Zat-zat bakteriostatis (L. Statis = menghentikan), yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya harus dilakukan oleh sistem-tangkis tubuh sendiri dengan jalan fagositosis (‘dimakan’ oleh limfosit). Contohnya sulfonamida, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin, PAS serta asam fusidat.
Penggunaan antibiotik ini untuk mengobati barbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara profilaksis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi. Penggunaan penting non-terapeutis adalah sebagai perangsang pertumbuhan dalam pertenakan sapi, babi dan ayam. Efek secara kebetulan ditemukan sekitar tahun 1940, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan bahwa antibiotika bekerja setempat dalam usus dengan menstabilisisr floranya hewan tersebut. Kuman-kuman ‘buruk’ yang merugikan dikurangai jumlah dan aktivitasnya, sehingga zat-zat gizi dapat dipergunakan lebih baik. Pertumbuhan dapat distimulasi dengan rata-rata 10%. Meskipun dikebanyakan negara barat penyalahgunaan ini dilarang keras, namun masih tetap banyak digunakan dalam makanan ternak, terutama makrolida dan glikopeptida. Jumlahnya kini sudah meningkat sampai lebih dari 3 kali penggunaannya sebagai obat manusia.
Ada 6 kelompok antibiotik, yaitu Penisilin dan sefalosporin, kelompok tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkosin, polipeptida serta kelompok sisa (polyen, rifamfisin dan lain-lain).
A. PENISILIN
Antibiotika ini dibagi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.
Penisilin diperoleh dari jamur penicillium chrysogenum; dari berbagai jenis yang dihasilkan, perbedaannya hanya terletak pada gugusan-samping-R saja, benzilpenisilin (pen-G) paling efektif. Sefalosporin diperoleh dari jamur chepalorium acremonium yang berasal dari sicilia (1943).
Kedua kelompok antibiotik tersebut memiliki rumus bangun serupa, keduanya memiliki cincin beta-laktam. Cincin ini merupakan syarat mutlak untuk khasiatnya. Jika cincin ini dibuka misalnya enzim beta-laktamase (penisilinase atau sefalosporinase), maka menjadi inaktif. Pada umunya penisilinase hanya dapat menginaktifkan penisilin dan tidak sefalosporin, kebalikannya berlaku untuk sefalosporinase.
Mekanisme kerja dinding sel kuman terdiri dari suatu jaringan peptidoglikan, yaitu polimer dari senyawa amino dan gula yang saling terikat satu amino dan gula yang saling terikat satu dengan yang lain (crosslinked) dan dengan demikian memberikan kekuatan mekanis pada dinding. Penisilin dan sefalosporin menghalangi sintesa lengkap dari polimer ini yang spesifik bagi kuman dan disebut murein. Bila sel tumbuh dan plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis, maka dinding sel yang tak sempurna itu akan musnah dan bakteri musnah. Dinding sel manusia dan hewan tidak terdiri dari murien, maka antibiotik ini tidak toksik untuk manusia.
Efek samping yang terpenting adalah reaksi alergi akibat hipersensitasi, yang (jarang sekali) dapat menimbulkan shock anafilaktis (dan kematian). Pada prokain-benzilpenisilin diduga prokain memegang peranan pada hipersensitasi tersebut. Pada penisilin broad-spectrum agak sering terjadi gangguan-gangguan lambung-usus (diare, mual, muntah). Diare dapat dicegah dengan pemberian probiotik (Lactobacillus, bifidobacterium) selama masa terapi, pada dosis (amat) tinggi dapat terjadi reaksi-reaksi nefrotoksis dan neurotoksis, seperti pada aminoglikosida. Untuk wanita hamil dan laktasi semua penisilin dianggap aman bagi wanita hamil dan yang menyusui, walaupun dalam jumlah kecil terdapat dalam darah janin dan air susu ibu.
Contoh-contoh obat dari golongan penisilin ini adalah Benzilpenisilin (penisilin-G), Fenoksimetilpenisilin (penisilin-V, fenocin, Acipen-V, Ospen), kloaksasilin (Meixam, Orbenin), Asam klavulonat (Augmentin, Timentin), Ampisilin (penbritin, Ultrapen, binotal), Amoksisilin (Amoxilin, Flemoxin, Hiconcil, Augmenten), Piperasilin (Ledercil, Tazocin).
B. SEFALOSPORIN
Sefalosporin termasuk antibiotik beta laktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan sebagai berikut :
- Spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterokoki dan kuman-kuman anaerob.
- Resisten terhadap penisilin asal stafilokoki, tetapi tidak efektif terhadap stafilokoki yang resisten terhadap penisilin (MRSA).
Penggolongan safalosforin berdasarkan khasiat antimikroba dan resistennya terhadap beta laktam, sfalosforin lazimnya digolongkan sebagai berikut :
1. Generasi ke-1. Sefalotin dan sefalozin, sefradin, sefaleksin dan sefadroksil. Zat-zat ini aktif terhadap cocci dan gram positif, tidak berdaya gonococci, H.influenzae, bacteriodes dan psedomonas. Pada umumnya tidak tahan terhadap laktamase.
2. Generasi ke-2. Sefaklor, sefamandol, sefmetazolo dan sefuroksin lebih aktif terhadap kuman gram negatif, termasuk H.influenzae, proteus, kjlebsiella, gonococci dan kuman-kuman resisten untuk amoksilin. Obat-obat ini agak kuat tahan-laktamase. Khasiatnya terhadap kuman gram positif (staphilococus dan streptococus) lebih kurang sama.
3. Generasi ke-3. Sefoferazon, sefotaksin (claforan), sefitokzim (cefizox), seftriakson (Rocephin), sefotiam (Cefadrol), sefiksim (Sofix), sefodoksim (Banan) dan sefrozil (Cefzil). Aktivitasnya terhadap kuman gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi psedomonas dan bacteriodes, khususnya sefatzidin. Resistennya terhadap laktamase juga lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap stafilokokus jauh lebih rendah. Tidak aktif terhadap MRSA dan MRSE.
4. Generasi ke-4. Sefepim dan sefiron. Obat-obat baru ini (1993) sangat resisten terhadap laktamase; sefepim juga aktif sekali terhadap psedomonas.
Penggunaanya sebagian besar dari sefalosforin perlu diberikan parenteral dan terutama digunakan pada rumah sakit. Obat-obat generasi pertama sering digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai obat pilihan kedua pada infeksi saluran napas. Obat-obat generasi kedua dan ketiga digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten terhadap amoksilin dan sefalosforin. Sedangkan obat-obat generasi keempat sering digunakan bila dibutuhkan efektivitas lebih besar dan infeksi dengan kuman gram positif.
Efek samping golongan ini pada umumnya sama dengan kelompok penisilin, tetapi lebih jarang dan lebih ringan. Obat oral dapat menimbulkan terutama gangguan lambung-usus, jarang sekali juga reaksi alergi.
Resisten dapat timbul dengan cepat, maka antibiotik ini jangan digunakan sembarangan dan dicadangkan untuk infeksi berat. Resistensi silang dengan penisilin pun dapat terjadi. Pada ibu yang sedang hamil dan menyusui lebih baik jangan memakai obat antibiotik golongan ini karena sefalosforin dapat dengan mudah melintasi plasenta, tetapi kadarnya dalam janin rendah daripada dalam darah ibunya. Dengan memungkinkan bila memakai obat antibiotik golongan ini bisa digunakan sefalotin dan sefaleksin karena telah digunakan selama kehamilan dan tidak dilaporkan efek buruk pada bayi. Kebanyakan sefalosforin dapat mencapai air susu ibu. Dari sefaklor, sefotaksim, seftriakson dan seftazidin hanya dalam jumlah kecil, yang dianggap aman bagi bayi.
C. AMINOGLIKOSIDA
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi streptomyces dan micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya yang terikat secara glukosidis. Dengan adanya gugus amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfatnya yang digunakan dalam terapi mudah larut dalam air.
Penggolongan antibiotik ini, aminoglikosida dapat dibagi atas dasar rumus kimianya, sebagai berikut.
- Streptomisin yang mengandung satu molekul gula-amino dalam molekulnya.
- Kanamisin dengan turunannya dibekasin, gentamisin, dan turunannya netilmisin dan tobramisin, yang semuanya memiliki dua molekul gula yang dihubungkan oleh sikloheksan.
- Neomisin, framesitin dan paranomisin dengan tiga gula-amino.
Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram negatif, a.l. E.Coli, H. Influenzae, Klebsiella, Proteus, Enteronacter, Salmonella dan shigella. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram positif (antara lain stapilococus aureus/epidermis). Streptomisin, kanamisin dan amikasin aktif terhadap kuman tahan asam Mycobacterium (tbc dan lepra).
Aktivitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses transasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesa proteinya dikacaukan.
Penggunaan obat ini lebih sering digunakan pada pemakaian topikal. Misal gentamisin, tobramisin dan neomisin.
Efek samping antibiotik ini berlawanan dengan atibiotika lainnya seperti antibiotik betalaktam. Setelah dihentikan penggunaannya dan kadar darahnya menurun sampai di bawah MIC-nya, masih mempertahankan efek antibiotisnya. Semakin besar dosis yang digunakan semakin besar pula “efek sisa” ini. Perlu juga pengontrolan terhadap pemberian antibiotik golongan ini pada lansia karena dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pendengaran dan keseimbangan yang terjadi pada kerusakan otak kedelapan. Antibiotik ini juga dapat melintasi placenta dan merusak ginjal serta menimbulkan ketulian pada bayi. Maka tidak dianjurkan selama kehamilan. Obat-obat ini mencapai air susu ibu dalam jumlah kecil dan hakekatnya dapat diberikan selama laktasi.
D. TETRASIKLIN
Senyawa tetrasiklin semula (1948) diperoleh dari streptomyces aureofaciens (klortetrasiklin) dan streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Setelah tahun 1960 zat induk tetrasiklin mulai dibuat seluruhnya secara sintesis, yang kemudian disusul oleh derivat-oksi dan -klor serta senya long-acting doksisilin dan minoksiklin. Khasiatnya bakteriostatis, hnya memalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan gram negatif serta kebanyakan basilli. Tidak efektif terhadap psedomonas dan proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus seperti chlamydia tyrachomatis (penyebab penyakit mata tracoma dan penyakit kelamin), Rickettsiae (scrubtyphus), spirokheta (sifilis, framboesia), leptospirae (penyakit weil), actinomyces dan beberapa protozoa (amuba).
Penggunaan tetrasiklin sudah lama sekali yang merupakan obat terpilih untuk banyak infeksi akibat bermacam-macam kuman, terutama infeksi campuran. Akan tetapi perkembangan resistensi dan efek sampinganya pada penggunaan selama kehamilan dan anak kecil, maka dewasa ini hanya dicadangkan untuk infeksi tertentu dan bila terdapat intoleransi bagi antibiotika pilihan pertama. Antara lain digunakan pada infeksi saluran napas dan paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata.
Efek samping antibiotik ini pada umumnya merupakan obat yang aman, walaupun dapat memperburuk kondisi gagal ginjal yang sudah ada. Dalam hal ini doksisilin lebih aman daripada senyawa-senyawa lain dalam kelompoknya. Sering sekali efek samping seperti gangguan lembung-usus. Efek samping yang lebih serius yang disebabkan kan oleh antibiotik golongan ini adalah sifat penyerapannya pada jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh pada janin dan anak-anak. Efek samping lain seperti kulit menjadi peka terhadap cahaya, menjadi kemerah-merahan dan gatal-gatal.
Resistensi semakin sering terjadi melalui R-plasmid (ekstrakromosomal). Banyak stafilococus dan streptococus sudah menjadi resisten, begitu pula kebanyakan kuman gram negatif (psedomonas, proteus, klebsillia, enterobacter, serratia). Antara masing-masing derivat tetrasiklin terdapat resistensi silang, kecuali minosiklin terhadap stapyloccus aureus.
E. MAKROLIDA DAN LINKOMISIN
Kelompok antibiotik ini terdiri dari eritromisin (EM) dengan derivatnya klaritomicin (KM), roksitromisin (RM), azitromicin (AM), dan diritromisin (DM).
Aktivitas eritromisin bekerja bakteriostatis terhadap kuman gram positif dan spektrum kerjanya mirim dengan penisilin-G, makanya dapat digunakan oleh penderita alergis terhadap penisilin. Mekanisme kerjanya sama dengan tetrasiklin, yakni melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat terjadi resistensi.
Penggunaan eritromisin merupakan pilihan utama pada khususnya infeksi paru-paru dengan legionella pneumophilia (penyakit veleran) dan mycoplasma pneumoniae (radang paru). Pada infeksi lain saluran napas dijadikan pilihan kedua untuk pemakaina obat ini.
Efek samping yang terpenting bagi lambung-usus, nyeri perut, nausea dan kadang-kadang muntah, yang terutama nampak pada EM akibat pengurainnya oleh asam lambung. Lebih jarang nyeri kepala dan reaksi kulit. EM pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian reversibel, mungkin akibat pengaruhnya terhadap SSS. Semua makrolida dapat mengganggu funsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai0nilai enzim tertentu dalam serum. Juga nyeri kepala dan pusing dapat terjadi. EM dan RM dapat mengakibatkan raksi alergi.
Interaksi obat-obat lain terhadap antibiotik ini yaitu teofilin, karbamazepin, kumarin, rifampisin, astemizol, terfinaden dan sikloporin karena eritromisin memperlihatkan penghambatan enzimatis dari metabolisme.
Kehamilan dan laktasi, eritromisin dapat diberikan dengan aman, sedangkan derivatnya belum ada kepastian. Ada kemungkinan RM dapat diminum selama menyusui. KM ternyata mengganggu perkembangan janin binatang percobaan, maka sebaiknya jangan digunakan pada trimester pertama kehamilan.
F. POLIPEPTIDA
Kelompok ini terdiri dari polimiksin B, polomiksin E (=kolistin), basitrasin dan gramisin, yang bercirikan struktur polipeptida siklis dengan gugus amino bebas. Berlainan dengan antibioyik lainnya ayng diperoleh oleh jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh bakteri. Polimiksin hanya aktif terhadap gram negatif termasuk psedomonas, sedangkan basitrasin dan gramisidin terutama aktif terhadap kuman gram postitif.
Khasiat bakterisidnya berdasarkan aktivitas permukaan dan kemampuannya untuk melekatkan diri pada membran sel bakteri, sehngga permeabilitas sel meningkat dan akhirnya sel meletus. Kerjanya tidak tergantung dari keadaan membelah tidaknya kuman, maka dapat dikombinasi dengan antibiotik bakteriostatis, seperti kloramfenikol dan tetrasiklin.
Pnggunaan antibiotik ini sangat toksis bagi ginjal, polimiksin juga bagi orga pendengaran. Oleh karena ini penggunaan parenteralnya pada infeksi psedomonas kini sudah ditinggalkan dengan adanya antibiotika lain yang lebih aman, seperti gentamisin dan sefalosforin.
G. ANTIBIOTIKA LAINNYA
1. Kloramfenikol
Semula diperoleh dari jenis strepromyces (1947), tetapi kemudian dibuat secara sintetis. Kloramfenikol bekrerja secara bakteriostatis terhadap hampir semua gram positf dan gram negatif. Bekerja sebagai bakterisid terhadap Str. Pneumoniae, Neeis. Meningitis dan H. Influenzae. Mekanisme kejanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Terhadap kebanyakan suku psedomonas, proteus dan enterobacter, kloramfenikol tidak aktif.
Penggunaannya berhubung resiko anemia aplastis fatal, dewasa ini hanya dianjurkan pada beberapa jenis infeksi bila tidak ada kemungkinan lain, yaitu infeksi tifus dan mkeningitis. Penggunaan topikal kloramfenikol digunakan sebagai salep 3% dan tetes/salep mata 0,25-1% sebagai pilihan kedua, jika fusidat dan tetrasiklin tidak efektif.
Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neurpati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Pada kehamilan dan laktasi tidak dianjurkan, khususnya selama minggu-minggu terakhir dari kehamilan, karena dapat menimbulkan cyanosis dan hipotermia pada neonati akibat ketidakmampuan untuk menkonjugasi dan mengekskresikan obat ini, sehingga sangat meningkatkan kadarnya dalam darah. Berhubungan kemampuannya dapat melintasi placenta dan mencapai air susu ibu, maka tidak boleh diberikan selama laktasi. Larangan tersebut berlaku bagi tiamfenikol.
2. Vankomisin
Antibiotikum gliokopeptida ini dihasilkan oleh sterptomycses orientalis (1995). Berkhasiat bakterisid terhadap kuman gram positif aerob dan anaerob, termasuk stafilokokusyang resistensi terhadap metisilin (MRSA).daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin dan sefalosforin.
Efek sampinya berupa gangguan fungi ginjal, terutama pada penggunaan lama dengan dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan resiko nefro dan otoksisitas. Kehamilan dan laktasi tidak terdapat cukup data untuk penggunaan selama kehamilan. Vankomisin mencapai air susu ibu.

Link kumpulan buku farmakologi dan daftar penyakit dan obatnya

http://books.google.co.id/books/about/Kumpulan_Kuliah_Farmakologi.html?id=MVw2VCMXrEgC&redir_esc=y

PENGOBATAN ALTERNATIF

PENGOBATAN ALTERNATIF adalah cara pengobatan tradisional yang kembali digunakan sebagai alternatif dari pengobatan konvesional. Dengan semakin banyaknya penelitian mengenai cara pengobatan ini yang terbukti relatif ampuh dan aman menurut persyaratan pengobatan modern, banyak dari cara pengobatan tradisional tersebut yang diambil sebagai terapi pendamping atau komplemen (complement), sehingga berkembang menjadi CAM (Complementary and Alternative Medicine).

Dengan perkembangan baru itu, pemilihan terapi tradisional menjadi lebih jelas antara yang dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya sebagai terapi yang sudah diakui dan yang masih terdaftar saja karena belum didukung dengan data penelitian yang akurat. Dalam pengertian itu, pengobatan kompementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional yang diberikan dokter, misalnya akupunktur dan hipnosis. Sedangkan terapi alternatif adalah pilihan pengobatan yang tidak dilakukan dokter pada umumnya, tetapi oleh dokter khusus (naturopathy dan homeopathy) dengan pendidikan yang berbeda, atau praktisi yang menguasai keahliannya melalui pendidikan lain (sinshe dan tabib).

PERBEDAAN DENGAN PENGOBATAN KONVENSIONAL

Kebanyakan dari pengobatan alternatif yang terkenal, menggunakan prinsip-prinsip praktik dasar yang berbeda dari prinsip dan praktik dasar pengobatan paliatif yang konvensional. Hal-hal itu adalah:

1. KEMAMPUAN PENYEMBUHAN ALAMI

Pengobatan alternatif ditemukan berdasarkan keyakinan yang mendalam akan kemampuan atau daya penyembuh yang sifatnya alami. Praktisi pengobatan alternatif menganggap sebagai kenyataan, bahwa setiap orang memiliki dalam dirinya kemampuan alami untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Pengobatan konvensional dari waktu ke waktu telah mengecilkan kemampuan alami tersebut dengan berbagai bentuk intervensi secara fisik maupun fisiologis. Contoh yang umum adalah meluasnya penggunaan antibiotik untuk mengatasi penyakit pada anak-anak. Penyembuhan alternatif cenderung akan menggunakan pengobatan yang mendukung atau memperkuat sistem imunitas tubuh mereka dan bukannya menggunakan antibiotik untuk mengatasi infeks.

2. ORIENTASI PADA PASIEN KETIMBANG ORIENTASI PADA DOKTER

Pengobatan konvensional cenderung lebih berorientasi pada dokter, dimana pendapat dan keyakinan sang dokter dianggap lebih penting dibanding pendapat dan keyakinan sang pasien. Di pihak lain, pengobatan alternatif lebih berorientasi pada pasien, dimana perasaan, keyakinan, dan pendapat sang pasien menjadi unsur-unsur yang sangat penting dalam penanganan dan proses pengambilan keputusan. Pengobatan alteratif yang bermutu didasarkan atas apresiasi yang mendalam akan keajaiban dan misteri dari setiap individu sebagai mahluk yang unik.

3. UNTUK MENCAPAI HASIL, PENGOBATAN ALTERNATIF MENGAMBIL WAKTU YANG LEBIH LAMA

Satu tujuan utama pengobatan alternatif adalah untuk merangsang respons penyembuhan alamiah dari tubuh dan membiarkan alam menjalankan pernannya. Untuk alasan inilah laju penyembuhan berjalan lebih lambat dibandingkan sistem konvensional dari penyembuhan paliatif.

4. PENGGUNAAN BAHAN-BAHAN YANG ALAMI DAN UTUH

Banyak penyembuhan alternatif menggunakan bahan-bahan yang alami seperti ramuan dan jamu, bahan-bahan botanikal, homeopatik, suplemen nutrisi, dan makanan yang utuh. Ada keyakinan umum di kalangan dokter-dokter Naturopatik bahwa penggunaan produk-produk utuh atau alami untuk menangani keluhan, hasilnya lebih baik dalam membantu proses penyembuhan dari pada menggunakan bahan-bahan sintetik.

5. STANDAR KESEHATAN YANG LEBIH TINGGI

Praktisi pengobatan konvensional biasanya melihat keadaan “sehat” sebagai “absennya penyakit”. Maka timbul filosifi umum bahwa “jika anda tidak sakit anda tidak perlu ke dokter”. Orang ‘sehat’ umumnya ke dokter untuk check-up tahunan dan memperoleh sertifikat atau pernyataan sehat. Penilaian atas kesehatan seseorang adalah hasil dari pemeliharaan fisik dengan mengabaikan atau sedikit saja mempertimbangkan faktor-faktor gaya hidup seperti pola makan, kebiasaan berolahraga, ataupun , masalah-masalah pribadi, dan psikologis.
Sebaliknya, sistem pengobatan alternatif bekerja berdasarkan premis bahwa kesehatan adalah suatu proses yang dinamis. Faktor-faktor lain, mulai dari daya energi vital seseorang hingga tingkat kebahagiaannya dalam kehidupan pribadi maupun profesionalnya, semua masuk pertimbangan. Bahkan kepedulian beragama dan spiritualitas seserang, secara cermat diperhitungkan ketika menevaluasi kesehatan dan kesejahteraannya.

6. TERUTAMA UNTUK PENYEMBUHAN PENYAKIT KRONIS

Pengobatan konvensional menjadi pilihan utama dalam penanganan tauma dan keadaan gawat darurat. Sedangkan pengobatan alternatif lebih ampuh dalam penyembuhan penyakit kronis, meskipun homeopathy juga bisa sangat efektif sebagai sarana pertolongan pertama

7. FOKUS PADA PENCEGAHAN DAN PENYEBAB PENYAKIT

pengobatan konvensional lebih memfokuskan pada penangana gejala atau symptom, dan jarang menekankan pada pencegahan atau penenganan penyebab dari suatu keluhan. Sedangkan semua system alternative berusaha untuk menemukan dan menangani penyebab dari suatu penyakit, dan menghindari upaya menutupi gejala-gejala. Terapi alternative lebih fokus pada pencegahan penyakit sebelum menjadi parah

8. PENDEKATAN YANG HOLISTIK

pengobatan konvensional cenderung menjurus langsung kepada organ tubuh, sehingga kita mengenal para spesialis seperti ophthalamologist (dokter spesialis mata), cardiologist (dokter spesialis jantung), nephrologist (dokter spesialis ginjal), neurologist (dokter spesialis saraf), dan sebagainya. Pengobatan alternatif, tanpa kecuali, melihat setiap orang sebagai individu yang unik dan menggunakan pengobatan holistic dalam menangani pasien.

9. KEMAMPUAN TUBUH UNTUK MENGATASI PENYAKIT

pengobatan konvensional berpegang pada tindakan intervensi yang agresif untuk menangani penyakit. Hal itu tercerim dari istilah-istilah seperti peluru yang ampuh atau ajaib (magic bullet) dan perang (perang melawan kanker), dan cenderung memilih penyelesaian yang cepat (seperti juga kebanyakan pasien). Sedangkan pengobatan alternatif berpegang pada dukungan yang lebih lambat dan jangka panjang untuk memungkinkan daya tahan dari dalam tubuh sendiri melakukan penyembuhan.

10. BAHAN-BAHAN YANG ALAMI UNTUK PENGOBATAN

“Persenjataan” pengobatan konvensional terdiri dari pembedahan, kemoterapi, radiasi dan obat-obatan farmasi yang ampuh. Sedangkan pengobatan alternatif menggunakan bahan-bahan alami yang telah teruji dan penanganan berkelanjutan yang lembut.
Pengobatan konvensional umumnya menolak penggunaan pengobatan alami bahkan lama setelah kemajuan sistim ini terbukti secara ilmiah (dengan kekecualian negara jerman). Kebanyakan praktisi pengobatan alternatif dengan penuh antusias memanfaatkan cara ini dan dalam banyak hal bisa menunjukan penggunaannya yang aman selama pengalaman bertahun-tahun. Ginko biloba kini adalah obat yang paling banyak diresepkan di jerman dan terbukti efektif untuk pengobatan dan pencegahan penyakit alzheimer. Ramuan Saw Palmetto juga diresepkan di jerman untuk 90% kasus pembesaran prostat; sedang di amerika serikat 300.000 operasi prostat dilakukan setiap tahunnya untuk mengatasi keluhan yang sama. Lebih menguntungkan untuk industri kedokteran, tapi mungkin membahayakan dan tidak sejahtera untuk para pasien.

11. SETIAP PASIEN ADALAH INDIVIDU YANG UNIK

para praktisi pengobatan konvensional dalam melakukan tugasnya mengikuti pengarahan berdasarkan aturan-aturan yang ketat , yang diletakan oleh sekolah kedoteran. Hal ini sering mengarah pada pendekatan “satu cara untuk semua pasien”. Sebaliknya, para praktisi pengobatan alternatif menangani setiap pasien sebagai individu, dengan demikian dilakukan hal-hal yang menurut mereka adalah yang terbaik, bukan apa yang digariskan oleh “buku petunjuk”.

12. DASAR KONDISI SEHAT ADALAH LANCARNYA ALIRAN ENERGI

pengobatan konvensional menganggap tubuh sang pasien sebagai suatu sistem yang maksimal (jantung adalah pompa, dan ginjal adalah penyaring penyaring atau filter), dan yakin bahwa kebanyakan penyakit bisa dilacak ke arah ketidak-seimbangan kimiawi. Karena itu cara penanganan yang baik adalah juga dengan menggunakan zat kimia yang ampuh. Sistem pengobatan alternatif – hampir tanpa pengecualian – menganggap bahwa tubuh kita terdiri dari suatu jaringan saluran (meridian) yang membawa suatu bentuk energi kehidupan. Penyumbatan atau keadaan yang tidak seimbang dari pusat-pusat energi tersebut yang membawa ke kondisi sakit. Sasaran utama dari pengobatan alternatif adalah untuk membersihkan sumbatan-sumbatan dan memperkuat semua aliran energi tersebut agar sang pasien pulih kembali kesehatannya.

13. PASIEN SEBAIKNYA AKTIF DALAM UPAYA PENYEMBUHAN SENDIRI

pengobatan konvensional lebih menyukai pasien yang bersikap pasif dan menerima tindakan pengobatan tanpa terlalu banyak bertanya. Sebaliknya, pengobatan alternatif lebih menyukai dan dalam banyak kasus menghendaki pasien mengambil bagian yang aktif dalam pencegahan dan penanganan penyakit yang di deritanya.

14. LEBIH MEMEGANG PRINSIP FIRST DO NO HARM

baik pengobatan konvensional maupun alternatif kedua-duanya berpegang pada prinsip “tidak boleh melukai dalam menjalankan tindakan pengobatan” (first do no harm). Namun dalam prakteknya pengobatan konvesional seakan-akan melupakannya. Hans R. Larsen, M. Sc Ch. E, direktur internasional Health News and The AFIB Report yang berpusat di Vancouver, Canada, dalam edisi ke-93/ September 1999 International Health News melaporkan: pembunuhan terbesar ketiga di Australia adalah rumah sakit, dan lebih dari satu juta orang menderita secara serius di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Keracunan darah yang terjadi di rumah sakit menyenbabkan 62.000 kematian, bedah bypass berakibat dengan 25.000 penderita stroke, dan dua juta pasien menderita reaksi obat yang berlebihan di rumah sakit Amerika setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, lebih dari 200.000 meninggal dunia. Ini menjadikan reaksi obat yang berlebihan di rumah sakit sebagai penyebab kematian keempat setelah sakit jantung, kanker dan stroke.

15. PERHATIAN YANG LEBIH PENUH PADA PASIEN

praktik pengobatan konvensional sangat terkait secara kuat dengan industri obat farmasi, yang prioritas utamanya adalah pencapaian keuntungan usaha. Meskipun kebanyakan dokter konvensional berusaha berpegang pada prioritas “menyembuhkan pasien”, namun hal ini makin sulit dalam prakteknya karena mereka bekerja dalam sistem farmasi yang sarat dengan salesman, aturan-aturan menurut buku, ketakutan akan tuntutan malpraktek, tumpukan paperwork untuk memnuhi keinginan birokrasi dan perusahaan asuransi, dan tekanan waktu dari antrean para pasien. Sementara itu, kebanyakan praktisi pengobatan alternatif saat ini belum menghadapi kendala dan tekanan semacam ini, dan masih lebih bisa memberikan perhatian penuh kepada pasien-pasien mereka.
referensi :
Hadibroto, Iwan dan Syamsir Alam. 2006. Seluk Beluk Pengobatan Alternatif dan Komplementer. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer

Pemasok Obat Untuk Rumah Sakit

3.1 Pemasok Obat Untuk Rumah Sakit
Pemasok adalah suatu organisasi/ lembaga yang menyediakan atau memasok produk atau pelayanan kepada konsumen. Pemasok obat untuk rumah sakit pada umumnya adalah Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi. Untuk memperoleh obat atau sediaan obat yang bermutu baik, perlu dilakukan pemilihan pemasok obat yang baik dan produk obat yang memenuhi semua persyaratan dan spesifikasi mutu. Jadi, salah satu komponen dari Praktek Pengadaaan Obat Yang Baik (PPOB) ialah pemilihan pemasok yang memenuhi persyaratan (Siregar, 2004:289).
3.1.1 Kriteria Umum Pemilihan Pemasok
IFRS harus menetapkan kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk rumah sakit. Kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk rumah sakit adalah, tetapi tidak terbatas pada hal berikut:
1. Telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan (telah terdaftar).
2. Telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO 9000.
3. Mempunyai reputasi yang baik, artinya tidak pernah:
    1. Melakukan hal-hal yang melanggar hukum yang berlaku
    2. menghasilkan/menjual produk obat yang tidak memenuhi syarat
    3. Mempunyai sediaan obat yang ditarik dari peredaran karena mutu yang buruk
4. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajiban sebagi pemasok produk obat yang selalu tersedia dan dengan mutu yang tertinggi, dengan harga yang terendah (Siregar, 2004:289).
3.1.2 Identifikasi Pemasok Sediaan Farmasi Yang Mungkin Untuk Rumah Sakit
IFRS harus melakukan proses untuk mengidentifikasi pemasok sediaan farmasi yang mungkin. Proses itu mencakup, tetapi tidak terbatas hanya pada kombinasi dari berbagai komponen berikut:
1. Mengevaluasi sistem mutu yang diterapkan pemasok, berdasarkan evaluasi dokumen dan evaluasi di lapangan. Pemasok harus mengizinkan apoteker rumah sakit untuk menginspeksi sistem mutu manufaktur dan pengendalian mutu
2. Menganalisis informasi tentang unjuk kerja pemasok, dan harus dikembangkan ketetapan serta kriteria operasional dan ditetapkan untuk mengases kehandalan pemasok dan menghindari subjektivitas. Kurangnya ketetapan serta kriteria untuk menetapkan pemasok yang ditolak menimbulakan keraguan pada kejujuran proses pengadaan.
3. Untuk pemasok yang baru, adalah penting menginspeksi secara visual sampel sediaan obat, kemasan dan penandaan.
4. Menguji mutu sediaan obat di laboratorium IFRS (jika ada), mengkaji hasil uji laboratorium pihak ketiga yang telah diakreditasi, atau hasil uji laboratorium pemasok yang telah diakreditasi
5. Mengkaji pengalaman terhadap sediaan pemasok yang dipublikasikan oleh pengguna lain atau informasi dari berbagai rumah sakit lain.
6. Mengevaluasi riwayat mutu, sediaan farmasi yang lampau yang disuplai oleh pemasok
7. Mengkaji mutu produk, harga, unjuk kerja penghataran, dan tanggapan pemasok jika ada masalah
8. Mengaudit sistem manajemen mutu pemasok dan mengevaluasi kemampuan yang mungkin untuk mengadakan sediaan obat yang diperlukan secara efisien dan dalam jadwal
9. Mengkaji acuan tentang kepuasan konsumen (dokter dan penderita)
10. Mengevaluasi pengalaman yang relevan dengan pemasok
11. Mengases finansial guna memastikan kelangsungan hidup pemasok dalam seluruh periode suplai yang diharapkan
12. Kemampuan layanan dan dukungan
13. Kemampuan logistik termasuk lokasi dan sumber (Siregar, 2004:289).
3.1.3 Hal Yang Perlu Disepakati Antara IFRS dan Pemasok
Kesepakatan Tentang Jaminan Mutu Pasokan
IFRS harus mengadakan suatu kesepakatan yang jelas dengan pemasok mengenai jaminan mutu terhadap produk yang dipasok. Satu atau lebih dari metode di bawah ini dapat digunakan dalam kesepakatan
jaminan mutu terhadap produk yang dipasok:
1. Mengandalkan sistem mutu pemasok dengan mengadakan audit dokumen mutu dan di lapangan
2. Penyertaan data inspeksi/pengujian yang ditetapkan dan rekaman pengendalian proses dari pemasok
3. Penerapan standar sistem mutu formal sesuai kontrak yang disetujui IFRS dan pemasok (standar formal dapat ditetapkan oleh IFRS, yaitu SNI 19-9004-2001 dan SNI 19-9004-2002)
4. Evaluasi secara berkala terhadap praktek pengendalian mutu pemasok oleh IFRS atau oleh pihak ketiga
5. Inspeksi/pengujian penerimaan lot dengan pengambilan contoh oleh pemasok
6. Inspeksi penerimaan dan penyortiran oleh IFRS (Siregar, 2004:290).
Kesepakatan Mengenai Metode Verifikasi
Kesepakatan yang jelas harus diadakan oleh IFRS bersama pemasok mengenai metode yang digunakan untuk memverifikasi kesesuaian terhadap persyaratan yang ditetapkan. Kesepakatan tersebut, dapat mencakup pertukaran data inspeksi dan/atau pengujian, dengan tujuan peningkatan mutu selanjutnya. Adanya kesepakatan tersebut dapat memperkecil kesulitan dalam penafsirkan persyaratan, metode inspeksi, pengujian, atau pengambilan contoh (Siregar, 2004:290).
Kesepakatan Untuk Penyelesaian Perselisihan
Sistem dan prosedur harus ditetapkan IFRS bersama pemasok untuk penyelesaian perselisihan yang berkaitan dengan mutu yang terjadi dikemudian hari (Siregar, 2004:291).
3.1.4 Kewajiban Pemasok
Pemasok harus dapat memenuhi persyaratan dan/atau ketentuan tersebut di bawah ini:
Ketentuan Teknis
Ketentuan teknis mencakup:
1. Atas permintaan apoteker, pemasok harus memberikan:
a. Data pengendalian analitik
b. Data pengujian sterilitas
c. Data kesetaraan hayati
d. Uraian prosedur pengujian bahan mentah da sediaan jadi
e. Informasi lain yang dapat menunjukkan mutu sediaan obat jadi tertentu. Data pengujian dari laboratorium independen yang telah diakreditasi harus diberikan tanpa dibayar
2. Semua obat dan/atau sediaannya harus memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi IV atau persyaratan lain yang ditetapkan oleh PFT dan IFRS.
3. Sedapat mungkin, semua sediaan obat tersedia dalam kemasan unit tunggal atau dosis unit atau kemasan selama terapi.
4. Nama dan alamat manufaktur dari bentuk sediaan akhir dan pengemas atau distributor harus tertera pada etiket sediaan.
5. Tanggal kedaluwarsa harus secara jelas tertera pada etiket kemasan.
6. Informasi terapi, biofarmasi, dan toksikologi harus tersedia untuk apoteker atas permintaan.
7. Materi edukasi untuk penderita dan staf, yang penting untuk penggunaan yang tepat dari sediaan obat harus tersedia secara rutin.
8. Atas permintaan, pemasok harus memberikan bukti dari setiap pernyataan berkaitan dengan kemanjuran, keamanan dan keunggulan produknya.
9. Atas permintaan, pemasok harus memberikan tanpa biaya, suatu kuantitas yang wajar dari produknya yang memungkinkan apoteker untuk mengevaluasi sifat fisik, termasuk keelokan farmasetik (penampilan dan ketidakadaan kerusakan atau cacat fisik) kemasan dan penandaan (Siregar, 2004:291).
Kebijakan Distribusi
1. Apabila memungkinkan, penghantaran tiap jenis sediaan obat harus berasal dari suatu nomor lot/bets tunggal.
2. Kecuali ditetapkan atau dipersyaratkan lain oleh pertimbangan stabilitas, tidak kurang dari suatu jarak waktu 12 bulan harus tersedia, antara waktu penghantaran sediaan dan tanggal kedaluwarsanya.
3. Pemasok harus menerima, tanpa pengesahan sebelumnya, kemasan sediaan obat yang belum dibuka yang dikembalikan yang belum lewat tanggal kedaluwarsa. Pengembalian uang penuh seharga pembelian harus kontan atau dimasukkan ke dalam rekening rumah sakit.
4. Pemasok harus mengirimkan semua pesanan sediaan obat tepat waktu, ongkos kirim prabayar oleh pemasok, dan menyertakan daftar kemasan pada setiap pengiriman. Semua sediaan obat “yang habis persediaan” harus dicatat, dan ketersediaan yang diantisipasi dari sediaan itu harus secara jelas dinyatakan (Siregar, 2004:290).
Kebijakan Pemasaran dan Penjualan
1. Pemasok, tidak diperkenankan menggunakan nama apoteker atau nama IFRS dalam iklan atau materi promosi.
2. Pemasok harus menghormati keputusan sistem formularium yang dibuat oleh PFT, dan PPF (Perwakilan Perusahaan Farmasi) harus memenuhi peraturan rumah sakit yang menguasai kegiatan PPF.
3. Pemasok tidak diperkenankan memberikan uang, alat atau barang kepada IFRS atau stafnya sebagai bujukan untuk membeli produk pemasok.
4. Dalam mengambil bagian dalam suatu kontrak untuk memasok sediaan obat, pemasok harus menjamin menyediakan pada harga yang ditetapkan setiap sejumlah minimum sediaan obat yang ditetapkan. Jika pemasok tidak mampu memenuhi janji pasokan itu, pemasok harus mengganti pengeluaran rumah sakit untuk pembayaran biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sediaan obat itu dari sumber lain. Jika selama kontrak berlaku, terjadi pengurangan harga maka berlaku harga yang lebih rendah (Siregar, 2004:292).
3.1.5 Hubungan IFRS Dengan Pemasok
IFRS dan pemasok industri farmasi harus saling bekerja sama dalam peningkatan mutu produksi industri farmasi dan mutu pelayanan IFRS. Untuk meningkatkan hubungan kerja sama antara IFRS dan industri farmasi, komunikasi harus pula ditingkatkan di antara keduanya (Siregar, 2004:292).
“IFRS dan industri farmasi harus menetapkan sistem manajemen mutu menyeluruh (S3M) agar kedua lembaga ini selalu dapat memuaskan konsumen “(Siregar, 2004:292).
Dalam pengadaan sediaan obat untuk rumah sakit, IFRS harus menerapkan manajemen proses mutu metode modern menggantikan manajemen produk metode tradisional. Migrasi peningkatan mutu dari manajemen produk ke manajemen proses mutu meratakan jalan untuk memeperluas teknik peningkatan mutu di luar manufaktur. Metode tradisional difokuskan produk atau keluaran yang memerlukan inspeksi/pengujian bahan baku maupun sediaan akhir yang lebih ketat untuk peningkatan mutu. Dengan pendekatan ini, mutu yang lebih baik dapat dicapai dengan pengeluaran dan pemborosan yang meningkat dan harga yang lebih tinggi. Hal ini berlawanan dengan metode modern, yang peningkatan mutu terpusat pada proses, dengan pendekatan demikian, mutu yang lebih baik dapat dicapai tanpa memerlukan peningkatan biaya (Siregar, 2004:292).

Salah satu strategi untuk meningkatkan komunikasi antara IFRS dan industri farmasi ialah mengadakan program orientasi formal untuk Perwakilan Perusahaan Farmasi (PPF). Program orientasi dapat digunakan untuk mendiskusikan standar di rumah sakit bagi PPF, selain itu dapat digunakan untuk memberikan informasi yang lebih luas kepada PPF sehinggga ia memahami berbagai sistem rumah sakit. Suatu pengertian yang akurat tentang sistem pembelian, sistem penghantaran obat, dan sistem formularium akan membantu PPF dalam melaksanakan pelayanan yang perlu untuk rumah sakit (Siregar, 2004:293).
Komunikasi antara industri farmasi dengan apoteker rumah sakit harus terbuka dan berkelanjutan. Apoteker rumah sakit harus mengkomunikasikan kebutuhan rumah sakit kepada industri, dan industri harus berusaha memenuhi kebutuhan itu. Informasi ilmiah berkaitan dengan sifat fisik (stabilitas, kompatibilitas, pH) dan sifat klinik (farmakokinetik) harus dikomunikasikan kepada apoteker rumah sakit. Hal sama, industri farmasi harus secara efisien mengkomunikasikan kebutuhannya kepada apoteker rumah sakit (Siregar, 2004:293).
3.1.6 Pemasok Sebagai Mitra IFRS
IFRS dapat memperoleh manfaat dari pengadaan hubungan dengan pemasok (industri farmasi dan PPF) untuk meningkatkan serta memberi kemudahan komunikasi yang jernih dan terbuka, dan untuk meningkatkan proses yang menciptakan nilai. Ada berbagai peluang bagi IFRS untuk meningkatkan nilai melali kerja sama denagn pemasok dalam berbagai kegiatan berikut:
1. Mengoptimasikan jumlah pemasok dan mitra.
2. Mengadakan komunikasi dua arah pada tingkat yang paling sesuai dalam kedua lembaga (IFRS dan pemasok) guna memudahkan solusi masalah yang cepat dan untuk menghindari keterlambatan atau perselisihan yang mahal.
3. Bekerja sama dengan pemasok dalam memvalidasi kemampuan proses mereka.
4. Memantau kemampuan pemasok menghantarkan sediaan obat yang bermutu.
5. Mendorong pemasok untuk menerapkan program peningkat-an/perbaikan terus-menerus dan untuk berpartisipasi dalam perkara peningkatan bersama.
6. Melibatkan pemasok dalam kegiatan pengembangan dan/atau desain IFRS untuk berbagi pengetahuan dan memperbaiki/meningkatkan realisasi dan penghantaran obat yang sesuai (Siregar, 2004:294).

Akbar h.bakkang. Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / TatapMata

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger