Histamin
adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan
berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah
mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi
inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan
berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek histamin adalah
pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel
inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin
berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target.
Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).
Sewaktu
diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan
patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin.
Sejak penemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat
terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972,
beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam
terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan
menjadi anti histamin penghambat reseptor H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3).
Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati
kelainan kronik maupun rekuren. Dengan demikian dermatologist harus
teliti dalam pemakaian antihistamin dan efek samping potensial pada
kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda untuk keperluan klinis
sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik.
Di
dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu
persenyawaan amino, yang merupakan hasil biasa dari pertukaran zat.
Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam
jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekrboksilase, bertolak dari
histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya
(proses dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga sinar matahari, khususnya
sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini
merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari.
Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat
menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak
dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga
mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan
sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga
permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih
mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat
mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini
organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran
lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri,
muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari
ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak
(dyspnoe) atau timbulnya serangan asma (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selapit lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selapit lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.
Sifat-sifat dan mekanisme kerja antihistaminika
Antihistaminika
adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh
dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada
gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.
Penggunaan
Pada
pengobatan dari berbagai gangguan alergi dan anafilaksi,
antihistaminika dapat menghilangkan sebagian besar dari gejala-gejala
tanpa melenyapkan sebab-sebab utamanya. Meskipun kerjanya tidak begitu
lengkap dan cepat seperti adrenalin atau aminofilin, namun obat-obat
antihistaminik kini banyak digunakan untuk mengobati keadaan-keadaan
alergi. Misalnya pada keadaan gatal-gatal (“kaligata”), urticaria karena
makanan (udang) atau obat-obat tertentu (asetosal, penisilin), dan
penyakit serum (“serum sickness”) setelah suntikan dengan suatu serum
asing. Juga untuk mencegah atau mengurangi reaksi-reaksi alergi,
seringkali diberikan antihistaminika satu jam sebelum dilakukan
penyuntikan dengan suatu antigen spesifik (misalnya serum, penisilin).
Untuk mengobati penyakit asma (bronchiale), antihistaminika tidak begitu
berkhasiat, karena hanya dapat meringankan saja gejala-gejalanya.
Penggunaan lainnya adalah sebagai obat anti emetik yang dapat melawan
rasa mual dan muntah-muntah pada mabuk perjalanan (“motion sickness”)
dan selama hamil (“morning-sickness”, hyperemesis gravidarum). Untuk
maksud ini biasanya digunakan garam klorotheofilinatnya, misalnya
difenhidramin dan promethazin klorotheofilinat, yang lebih berkhasiat
daripada persenyawaan-persenyawaan induknya.
Disamping
peranannya dalam persaingan substrat dengan histamin, antihistaminika
juga memiliki khasiat antikolinergik lemah dan kegiatan vasokonstriksi.
Berdasarkan hal ini antihistaminika seringkali digunakan untuk
meringankan gejala “common cold” misalnya selesma, dengan atau tanpa
dikombinasi dengan analgetika. Begitupula banyak sirop batuk mengandung
obat-obat ini, guna mengurangi rasa gatal di tenggorokan.
Antihistaminika juga berkhasiat terhadap vertigo (pusing-pusing) dengan
jalan menekan kegiatan reseptor-reseptor saraf vestibuler di bagian
dalam telinga dan merintangi kegiatan kolinergik sentral. Dalam hal ini
antihistaminika yang sering digunakan adalah sinarizin, siklizin,
dimenhidrinat, meklozin dan promethazin.
Antihistaminika
dapat diberikan secara oral atau parenteral dengan resorpsi yang baik.
Pada pemberian oral, efek mulai tampak setelah 15 – 30 menit, sedangkan
pada umumnya lama kerjanya hanya lebih kurang 4 jam, terkecuali
promethazin, meklizin dan buklizin, yang memiliki kerja panjang (lebih
kurang 16 jam). Khasiat dan terutama dosisnya, juga toleransi untuk
obat-obat ini adalah sangat individual; suatu antihistaminika yang
manjur untuk mengobati A dengan dosis kecil, mungkin sama sekali tidak
ada efeknya untuk mengobati penyakit yang sama pada B.
Efek – sampingan
Karena
antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat,
maka efek sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan
menidurkannya. Sifat sedatif ini adalah paling kuat pada difenhidramin
dan promethazin, dan sangat ringan pada pirilamin dan klorfeniramin.
Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya pada fenindamin.
Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian
antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai
amfetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya
dihindarkan. Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan
efek daripada khasiat parasimpatolitiknya yang lemah, yaitu perasaan
kering di mulut dan tenggorokan, gangguan-gangguan pada saluran lambung
usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian antihistaminika
pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.
Perintang-perintang reseptor-reseptor – H2
Antihistaminika
yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek
histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus
serta dilatasi pembuluh-pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana
efeknya berlangsung melalui jenis reseptor tertentu yang terdapat
dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ bersangkutan yang disebut
reseptor-resep[tor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari produksi
asam lambung berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu
reseptor-reseptor H2 yang terdapat dalam mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya imetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi darah (agranulocytosis).
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya imetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi darah (agranulocytosis).
Penggolongan
Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
A. Persenyawaan-persenyawaan
aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan
turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin
(Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan
ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap
susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan
penglihatan dan perasaan mengantuk.
B. Persenyawaan-persenyawaan
alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin.
Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat
hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
C. Persenyawaan-persenyawaan
alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin.
Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki
kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
D. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.
1. Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping
khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat
spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson,
dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk
penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mg
· Dimenhidrinat:
difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros).
Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan
muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100 mg, i.m. 50 mg.
· Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.
2. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.
3. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat
antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi
kebaikannya terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir.
Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada
mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg
4. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg
5. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan. Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.
6. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah
suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat
menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa
pusing-pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo
(dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui. Selain
itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung
terhadap rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di
pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki
dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan
hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan
vasodilator-vasodilator lainnya.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg
*
primatour (ACF) adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan
klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat ini adalah kombinasi dari dua
antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus
digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat, yaitu ¼
sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama. Dosis : dewasa 1 tablet.
7. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah
suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang
sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek
sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan
fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya
8. Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping
khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat
antikolinergik yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale
dengan sekresi yang berlebihan.
9. Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan
piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat
antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan
tanpa khasiat hormonal.
Zat
ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen
(Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada
migrain.Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan
mulut kering. Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi
urine dan pada wanita hamil.
10. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung
50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak
memiliki sifat-sifat menidurkan. Dosis : rata-rata 100 – 300 mg
seharinya
Antihistamin
kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif
yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Tabel 1. Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)
Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama
| |
1.
|
Azatadine
|
2.
|
Azelastine
|
3.
|
Brompheniramine
|
4.
|
Chlorpheniramine
|
5.
|
Clemastine
|
6.
|
Cyproheptadine
|
7.
|
Dexchlorpheniramine
|
8.
|
Hydroxyzine
|
9.
|
Promethazine
|
10.
|
Tripelennamine
|
Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua
| |
11.
|
Cetirizine
|
12.
|
Loratadine
|
Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga
| |
13.
|
Fexofenadine
|
14.
|
Desloratadine
|
Generasi
pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi
pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik
yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif
dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar
dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan
lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi
kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan
generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa
metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer
(levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk
memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi
serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki
risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya,
terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine,
tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1
ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan
relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis,
antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara
itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi
yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga
bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih
minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi
tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru
ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat
influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma,
atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini
menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan
prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas
anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang
mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies.
Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan
kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri
dari efek tambahan ini.4
0 komentar:
Posting Komentar