Antibiotik (L. Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini
dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula
semua senyawa dengan khasiat antibakteri.
Mekanisme
kerja yang terpenting adalah perintangan sintesis protein, sehingga
kuman musnah atau tidak berkembang lagi, misalnya kloramfenikol,
tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin. Selain itu
beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan
sefalosporin) atau membran sel (polimiksin, zat-zat polien dan
imidazol). Kemoterapi antimikroba dapat digolongkan atas dasar mekanisme
kerjanya dalam zat-zat bakterisid dan bakteriostatis sebagai berikut :
a. Zat-zat bakterisid (L. Caedere
= mematikan), yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman.
Obat-obatan ini dapat dibagi pula dalam dua kelompok yakni : yang
bekerja :
· Terhadap
fase tumbuh misalnya penisilin dan sefalosporin, polipeptida
(polimiksin, basitrasin) rifampisin, asam nalidiksat dan
kuinolon-kuinolon. Zat-zat ini kurang efektif dalam fase istirahat.
· Terhadap fase istirahat misalnya aminoglikosida, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol dan juga polipeptida tersebut di atas.
b. Zat-zat bakteriostatis (L. Statis
= menghentikan), yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan
pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya harus dilakukan oleh
sistem-tangkis tubuh sendiri dengan jalan fagositosis (‘dimakan’
oleh limfosit). Contohnya sulfonamida, kloramfenikol, tetrasiklin,
makrolida dan linkomisin, PAS serta asam fusidat.
Penggunaan
antibiotik ini untuk mengobati barbagai jenis infeksi akibat kuman atau
juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara
profilaksis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep jantung
buatan, juga sebelum cabut gigi. Penggunaan penting non-terapeutis
adalah sebagai perangsang pertumbuhan dalam pertenakan sapi, babi dan
ayam. Efek secara kebetulan ditemukan sekitar tahun 1940, tetapi
mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan bahwa
antibiotika bekerja setempat dalam usus dengan menstabilisisr floranya
hewan tersebut. Kuman-kuman ‘buruk’ yang merugikan dikurangai jumlah dan
aktivitasnya, sehingga zat-zat gizi dapat dipergunakan lebih baik.
Pertumbuhan dapat distimulasi dengan rata-rata 10%. Meskipun
dikebanyakan negara barat penyalahgunaan ini dilarang keras, namun masih
tetap banyak digunakan dalam makanan ternak, terutama makrolida dan glikopeptida. Jumlahnya kini sudah meningkat sampai lebih dari 3 kali penggunaannya sebagai obat manusia.
Ada 6 kelompok antibiotik, yaitu Penisilin dan sefalosporin, kelompok tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkosin, polipeptida serta kelompok sisa (polyen, rifamfisin dan lain-lain).
A. PENISILIN
Antibiotika ini dibagi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.
Penisilin diperoleh dari jamur penicillium chrysogenum; dari berbagai jenis yang dihasilkan, perbedaannya hanya terletak pada gugusan-samping-R saja, benzilpenisilin (pen-G) paling efektif. Sefalosporin diperoleh dari jamur chepalorium acremonium yang berasal dari sicilia (1943).
Kedua
kelompok antibiotik tersebut memiliki rumus bangun serupa, keduanya
memiliki cincin beta-laktam. Cincin ini merupakan syarat mutlak untuk
khasiatnya. Jika cincin ini dibuka misalnya enzim beta-laktamase
(penisilinase atau sefalosporinase), maka menjadi inaktif. Pada umunya
penisilinase hanya dapat menginaktifkan penisilin dan tidak
sefalosporin, kebalikannya berlaku untuk sefalosporinase.
Mekanisme
kerja dinding sel kuman terdiri dari suatu jaringan peptidoglikan,
yaitu polimer dari senyawa amino dan gula yang saling terikat satu amino
dan gula yang saling terikat satu dengan yang lain (crosslinked)
dan dengan demikian memberikan kekuatan mekanis pada dinding. Penisilin
dan sefalosporin menghalangi sintesa lengkap dari polimer ini yang
spesifik bagi kuman dan disebut murein. Bila sel tumbuh dan
plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis, maka dinding
sel yang tak sempurna itu akan musnah dan bakteri musnah. Dinding sel
manusia dan hewan tidak terdiri dari murien, maka antibiotik ini tidak
toksik untuk manusia.
Efek
samping yang terpenting adalah reaksi alergi akibat hipersensitasi,
yang (jarang sekali) dapat menimbulkan shock anafilaktis (dan kematian).
Pada prokain-benzilpenisilin diduga prokain memegang peranan pada hipersensitasi tersebut. Pada penisilin broad-spectrum agak sering terjadi gangguan-gangguan lambung-usus (diare, mual, muntah). Diare dapat dicegah dengan pemberian probiotik (Lactobacillus, bifidobacterium)
selama masa terapi, pada dosis (amat) tinggi dapat terjadi
reaksi-reaksi nefrotoksis dan neurotoksis, seperti pada aminoglikosida.
Untuk wanita hamil dan laktasi semua penisilin dianggap aman bagi wanita
hamil dan yang menyusui, walaupun dalam jumlah kecil terdapat dalam
darah janin dan air susu ibu.
Contoh-contoh
obat dari golongan penisilin ini adalah Benzilpenisilin (penisilin-G),
Fenoksimetilpenisilin (penisilin-V, fenocin, Acipen-V, Ospen),
kloaksasilin (Meixam, Orbenin), Asam klavulonat (Augmentin, Timentin),
Ampisilin (penbritin, Ultrapen, binotal), Amoksisilin (Amoxilin,
Flemoxin, Hiconcil, Augmenten), Piperasilin (Ledercil, Tazocin).
B. SEFALOSPORIN
Sefalosporin
termasuk antibiotik beta laktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang
banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan sebagai
berikut :
- Spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterokoki dan kuman-kuman anaerob.
- Resisten terhadap penisilin asal stafilokoki, tetapi tidak efektif terhadap stafilokoki yang resisten terhadap penisilin (MRSA).
Penggolongan
safalosforin berdasarkan khasiat antimikroba dan resistennya terhadap
beta laktam, sfalosforin lazimnya digolongkan sebagai berikut :
1. Generasi ke-1.
Sefalotin dan sefalozin, sefradin, sefaleksin dan sefadroksil. Zat-zat
ini aktif terhadap cocci dan gram positif, tidak berdaya gonococci,
H.influenzae, bacteriodes dan psedomonas. Pada umumnya tidak tahan
terhadap laktamase.
2. Generasi ke-2. Sefaklor,
sefamandol, sefmetazolo dan sefuroksin lebih aktif terhadap kuman gram
negatif, termasuk H.influenzae, proteus, kjlebsiella, gonococci dan
kuman-kuman resisten untuk amoksilin. Obat-obat ini agak kuat
tahan-laktamase. Khasiatnya terhadap kuman gram positif (staphilococus
dan streptococus) lebih kurang sama.
3. Generasi ke-3.
Sefoferazon, sefotaksin (claforan), sefitokzim (cefizox), seftriakson
(Rocephin), sefotiam (Cefadrol), sefiksim (Sofix), sefodoksim (Banan)
dan sefrozil (Cefzil). Aktivitasnya terhadap kuman gram negatif lebih
kuat dan lebih luas lagi dan meliputi psedomonas dan bacteriodes,
khususnya sefatzidin. Resistennya terhadap laktamase juga lebih kuat,
tetapi khasiatnya terhadap stafilokokus jauh lebih rendah. Tidak aktif
terhadap MRSA dan MRSE.
4. Generasi ke-4. Sefepim
dan sefiron. Obat-obat baru ini (1993) sangat resisten terhadap
laktamase; sefepim juga aktif sekali terhadap psedomonas.
Penggunaanya
sebagian besar dari sefalosforin perlu diberikan parenteral dan
terutama digunakan pada rumah sakit. Obat-obat generasi pertama sering
digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai obat
pilihan kedua pada infeksi saluran napas. Obat-obat generasi kedua dan
ketiga digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten terhadap
amoksilin dan sefalosforin. Sedangkan obat-obat generasi keempat sering
digunakan bila dibutuhkan efektivitas lebih besar dan infeksi dengan
kuman gram positif.
Efek
samping golongan ini pada umumnya sama dengan kelompok penisilin,
tetapi lebih jarang dan lebih ringan. Obat oral dapat menimbulkan
terutama gangguan lambung-usus, jarang sekali juga reaksi alergi.
Resisten
dapat timbul dengan cepat, maka antibiotik ini jangan digunakan
sembarangan dan dicadangkan untuk infeksi berat. Resistensi silang
dengan penisilin pun dapat terjadi. Pada ibu yang sedang hamil dan
menyusui lebih baik jangan memakai obat antibiotik golongan ini karena
sefalosforin dapat dengan mudah melintasi plasenta, tetapi kadarnya
dalam janin rendah daripada dalam darah ibunya. Dengan memungkinkan bila
memakai obat antibiotik golongan ini bisa digunakan sefalotin dan
sefaleksin karena telah digunakan selama kehamilan dan tidak dilaporkan
efek buruk pada bayi. Kebanyakan sefalosforin dapat mencapai air susu
ibu. Dari sefaklor, sefotaksim, seftriakson dan seftazidin hanya dalam
jumlah kecil, yang dianggap aman bagi bayi.
C. AMINOGLIKOSIDA
Aminoglikosida dihasilkan
oleh jenis-jenis fungi streptomyces dan micromonospora. Semua senyawa
dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di
dalam molekulnya yang terikat secara glukosidis. Dengan adanya gugus
amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfatnya yang
digunakan dalam terapi mudah larut dalam air.
Penggolongan antibiotik ini, aminoglikosida dapat dibagi atas dasar rumus kimianya, sebagai berikut.
- Streptomisin yang mengandung satu molekul gula-amino dalam molekulnya.
- Kanamisin
dengan turunannya dibekasin, gentamisin, dan turunannya netilmisin dan
tobramisin, yang semuanya memiliki dua molekul gula yang dihubungkan
oleh sikloheksan.
- Neomisin, framesitin dan paranomisin dengan tiga gula-amino.
Spektrum
kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram negatif, a.l.
E.Coli, H. Influenzae, Klebsiella, Proteus, Enteronacter, Salmonella dan
shigella. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman
gram positif (antara lain stapilococus aureus/epidermis). Streptomisin,
kanamisin dan amikasin aktif terhadap kuman tahan asam Mycobacterium
(tbc dan lepra).
Aktivitasnya
adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri
dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses transasi (RNA dan
DNA) diganggu sehingga biosintesa proteinya dikacaukan.
Penggunaan obat ini lebih sering digunakan pada pemakaian topikal. Misal gentamisin, tobramisin dan neomisin.
Efek
samping antibiotik ini berlawanan dengan atibiotika lainnya seperti
antibiotik betalaktam. Setelah dihentikan penggunaannya dan kadar
darahnya menurun sampai di bawah MIC-nya, masih mempertahankan efek
antibiotisnya. Semakin besar dosis yang digunakan semakin besar pula
“efek sisa” ini. Perlu juga pengontrolan terhadap pemberian antibiotik
golongan ini pada lansia karena dapat mengakibatkan kerusakan pada organ
pendengaran dan keseimbangan yang terjadi pada kerusakan otak
kedelapan. Antibiotik ini juga dapat melintasi placenta dan merusak
ginjal serta menimbulkan ketulian pada bayi. Maka tidak dianjurkan
selama kehamilan. Obat-obat ini mencapai air susu ibu dalam jumlah kecil
dan hakekatnya dapat diberikan selama laktasi.
D. TETRASIKLIN
Senyawa tetrasiklin semula (1948) diperoleh dari streptomyces aureofaciens (klortetrasiklin) dan streptomyces rimosus (oksitetrasiklin).
Setelah tahun 1960 zat induk tetrasiklin mulai dibuat seluruhnya secara
sintesis, yang kemudian disusul oleh derivat-oksi dan -klor serta senya
long-acting doksisilin dan minoksiklin. Khasiatnya bakteriostatis, hnya
memalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid
lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman.
Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan
gram negatif serta kebanyakan basilli. Tidak efektif terhadap
psedomonas dan proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus seperti
chlamydia tyrachomatis (penyebab penyakit mata tracoma dan penyakit
kelamin), Rickettsiae (scrubtyphus), spirokheta (sifilis, framboesia),
leptospirae (penyakit weil), actinomyces dan beberapa protozoa (amuba).
Penggunaan
tetrasiklin sudah lama sekali yang merupakan obat terpilih untuk banyak
infeksi akibat bermacam-macam kuman, terutama infeksi campuran. Akan
tetapi perkembangan resistensi dan efek sampinganya pada penggunaan
selama kehamilan dan anak kecil, maka dewasa ini hanya dicadangkan untuk
infeksi tertentu dan bila terdapat intoleransi bagi antibiotika pilihan
pertama. Antara lain digunakan pada infeksi saluran napas dan
paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata.
Efek
samping antibiotik ini pada umumnya merupakan obat yang aman, walaupun
dapat memperburuk kondisi gagal ginjal yang sudah ada. Dalam hal ini
doksisilin lebih aman daripada senyawa-senyawa lain dalam kelompoknya.
Sering sekali efek samping seperti gangguan lembung-usus. Efek samping
yang lebih serius yang disebabkan kan oleh antibiotik golongan ini
adalah sifat penyerapannya pada jaringan tulang dan gigi yang sedang
tumbuh pada janin dan anak-anak. Efek samping lain seperti kulit menjadi
peka terhadap cahaya, menjadi kemerah-merahan dan gatal-gatal.
Resistensi
semakin sering terjadi melalui R-plasmid (ekstrakromosomal). Banyak
stafilococus dan streptococus sudah menjadi resisten, begitu pula
kebanyakan kuman gram negatif (psedomonas, proteus, klebsillia,
enterobacter, serratia). Antara masing-masing derivat tetrasiklin
terdapat resistensi silang, kecuali minosiklin terhadap stapyloccus
aureus.
E. MAKROLIDA DAN LINKOMISIN
Kelompok
antibiotik ini terdiri dari eritromisin (EM) dengan derivatnya
klaritomicin (KM), roksitromisin (RM), azitromicin (AM), dan
diritromisin (DM).
Aktivitas
eritromisin bekerja bakteriostatis terhadap kuman gram positif dan
spektrum kerjanya mirim dengan penisilin-G, makanya dapat digunakan oleh
penderita alergis terhadap penisilin. Mekanisme kerjanya sama dengan
tetrasiklin, yakni melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman,
sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau
sering dapat terjadi resistensi.
Penggunaan
eritromisin merupakan pilihan utama pada khususnya infeksi paru-paru
dengan legionella pneumophilia (penyakit veleran) dan mycoplasma
pneumoniae (radang paru). Pada infeksi lain saluran napas dijadikan
pilihan kedua untuk pemakaina obat ini.
Efek
samping yang terpenting bagi lambung-usus, nyeri perut, nausea dan
kadang-kadang muntah, yang terutama nampak pada EM akibat pengurainnya
oleh asam lambung. Lebih jarang nyeri kepala dan reaksi kulit. EM pada
dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian reversibel, mungkin akibat
pengaruhnya terhadap SSS. Semua makrolida dapat mengganggu funsi hati,
yang tampak sebagai peningkatan nilai0nilai enzim tertentu dalam serum.
Juga nyeri kepala dan pusing dapat terjadi. EM dan RM dapat
mengakibatkan raksi alergi.
Interaksi
obat-obat lain terhadap antibiotik ini yaitu teofilin, karbamazepin,
kumarin, rifampisin, astemizol, terfinaden dan sikloporin karena
eritromisin memperlihatkan penghambatan enzimatis dari metabolisme.
Kehamilan
dan laktasi, eritromisin dapat diberikan dengan aman, sedangkan
derivatnya belum ada kepastian. Ada kemungkinan RM dapat diminum selama
menyusui. KM ternyata mengganggu perkembangan janin binatang percobaan,
maka sebaiknya jangan digunakan pada trimester pertama kehamilan.
F. POLIPEPTIDA
Kelompok
ini terdiri dari polimiksin B, polomiksin E (=kolistin), basitrasin dan
gramisin, yang bercirikan struktur polipeptida siklis dengan gugus
amino bebas. Berlainan dengan antibioyik lainnya ayng diperoleh oleh
jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh bakteri. Polimiksin hanya aktif
terhadap gram negatif termasuk psedomonas, sedangkan basitrasin dan
gramisidin terutama aktif terhadap kuman gram postitif.
Khasiat
bakterisidnya berdasarkan aktivitas permukaan dan kemampuannya untuk
melekatkan diri pada membran sel bakteri, sehngga permeabilitas sel
meningkat dan akhirnya sel meletus. Kerjanya tidak tergantung dari
keadaan membelah tidaknya kuman, maka dapat dikombinasi dengan
antibiotik bakteriostatis, seperti kloramfenikol dan tetrasiklin.
Pnggunaan
antibiotik ini sangat toksis bagi ginjal, polimiksin juga bagi orga
pendengaran. Oleh karena ini penggunaan parenteralnya pada infeksi
psedomonas kini sudah ditinggalkan dengan adanya antibiotika lain yang
lebih aman, seperti gentamisin dan sefalosforin.
G. ANTIBIOTIKA LAINNYA
1. Kloramfenikol
Semula
diperoleh dari jenis strepromyces (1947), tetapi kemudian dibuat secara
sintetis. Kloramfenikol bekrerja secara bakteriostatis terhadap hampir
semua gram positf dan gram negatif. Bekerja sebagai bakterisid terhadap
Str. Pneumoniae, Neeis. Meningitis dan H. Influenzae. Mekanisme kejanya
berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Terhadap kebanyakan
suku psedomonas, proteus dan enterobacter, kloramfenikol tidak aktif.
Penggunaannya
berhubung resiko anemia aplastis fatal, dewasa ini hanya dianjurkan
pada beberapa jenis infeksi bila tidak ada kemungkinan lain, yaitu
infeksi tifus dan mkeningitis. Penggunaan topikal kloramfenikol
digunakan sebagai salep 3% dan tetes/salep mata 0,25-1% sebagai pilihan
kedua, jika fusidat dan tetrasiklin tidak efektif.
Efek
samping umum berupa gangguan lambung-usus, neurpati optis dan perifer,
radang lidah dan mukosa mulut. Pada kehamilan dan laktasi tidak
dianjurkan, khususnya selama minggu-minggu terakhir dari kehamilan,
karena dapat menimbulkan cyanosis dan hipotermia pada neonati akibat
ketidakmampuan untuk menkonjugasi dan mengekskresikan obat ini, sehingga
sangat meningkatkan kadarnya dalam darah. Berhubungan kemampuannya
dapat melintasi placenta dan mencapai air susu ibu, maka tidak boleh
diberikan selama laktasi. Larangan tersebut berlaku bagi tiamfenikol.
2. Vankomisin
Antibiotikum
gliokopeptida ini dihasilkan oleh sterptomycses orientalis (1995).
Berkhasiat bakterisid terhadap kuman gram positif aerob dan anaerob,
termasuk stafilokokusyang resistensi terhadap metisilin (MRSA).daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Obat ini
juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin dan sefalosforin.
Efek
sampinya berupa gangguan fungi ginjal, terutama pada penggunaan lama
dengan dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual
dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan resiko nefro
dan otoksisitas. Kehamilan dan laktasi tidak terdapat cukup data untuk
penggunaan selama kehamilan. Vankomisin mencapai air susu ibu.
1 komentar:
siip infonya
Posting Komentar